Antara Tauhid dan Talbiyah
Di antara perkara yang sangat disayangkan dari sebagian kaum muslimin di masa sekarang adalah keterasingan mereka dengan tauhid yang benar. Banyak di antara saudara semuslim kita yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung kesyirikan, perbuatan-perbuatan yang akan mengurangi atau bahkan melunturkan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala.
Banyak di antara mereka yang masih bergantung kepada selain Allah Ta’ala, meminta kepada kuburan, hal-hal yang dikeramatkan, dan yang lain sebagainya. Banyak juga di antara mereka yang masih menggantungkan nasibnya kepada ramalan serta memiliki anggapan sial terhadap waktu tertentu. Tidak mengherankan juga, di antara mereka ada yang mendatangi ‘orang pintar’ untuk mencari kesembuhan atau melariskan dagangan yang mereka miliki.
Wahai saudaraku, sesungguhnya semua itu mencoreng makna keimanan, keislaman, dan ketauhidan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Padahal, tauhid adalah perkara pertama dan terakhir yang didakwahkan oleh para Nabi. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Bahkan, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal berdakwah tiga belas tahun lamanya di Makkah hanya untuk menyeru manusia kepada jalan tauhid yang benar serta mengajak mereka untuk untuk menyembah Allah Ta’ala semata serta meninggalkan peribadatan kepada berhala.
Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa tauhid seharusnya menjadi prioritas seorang muslim. Tidaklah sempurna keimanan dan keislaman mereka, kecuali apabila tauhid mereka telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritas
Mukmin yang jujur dengan keimanannya pastilah memiliki impian untuk bisa melaksanakan haji ke baitullah. Berbagai cara mereka tempuh untuk bisa menabung dan berangkat haji. Sayangnya sebagian dari mereka lupa atau tidak tahu bahwa esensi dari ibadah haji yang sesungguhnya adalah mentauhidkan Allah Ta’ala.
Tidaklah ada satu rangkaian dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali di dalamnya mengandung unsur tauhid. Tawaf yang kita lakukan, sa’i yang kita kerjakan, semuanya merupakan bentuk perwujudan tauhid kita kepada Allah Ta’ala.
Bahkan, kalimat talbiyah, kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang muslim yang berhaji adalah salah satu kalimat tauhid yang paling utama. Kalimat tauhid yang Nabi ajarkan kepada umatnya untuk senantiasa dilantunkan setelah berihram sampai dengan pelaksanaan lempar jamrah di tanggal sepuluh Zulhijah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,
فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّوْحِيدِ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَزِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلْبِيَتَهُ
“Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertalbiyah dengan kalimat tauhid, ‘Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka la syarika laka.’ (Ya Allah, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Dan orang-orang bertalbiyah dengan talbiyah yang mereka ucapan ini. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak sedikit pun dari hal tersebut. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus mengucapkan talbiyahnya.” (HR. Muslim no. 1218.)
Dengan kalimat tersebut, seorang muslim yang sedang berhaji melantunkan dan mengeraskannya hingga ia melihat langsung Ka’bah. Dengan kalimat tersebut, ia tawaf mengelilingninya. Dengan kalimat tersebut pula, ia akan sa’i dan menyempurnakan ibadah hajinya hingga datang tanggal kesepuluh dan ia melaksanakan lempar jamrah.
Sebuah kalimat yang mengandung makna tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Karena dengan melantunkannya, ia mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak memberikan nikmat dan pemberian. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal apa pun.
Tujuan utama dari kalimat tersebut apabila diucapkan dengan penuh kejujuran dan keimanan adalah ketauhidan yang sempurna. Orang yang melantunkannya dengan jujur dan penuh keyakinan, maka tidak akan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, tidak akan meminta kepada selain-Nya, tidak akan bergantung kecuali kepada Allah Ta’ala, tidak menyembelih dan bernazar kecuali untuk Allah Ta’ala, serta tidak melakukan ibadah kecuali untuk-Nya. Inilah tujuan utama dari talbiyah yang diucapkan oleh seorang muslim serta tujuan utama dari ibadah haji yang didambakan dan diimpikan oleh setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal tersebut,
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ، ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ، حُنَفَاء لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27-31)
Baca juga: Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji
Renungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji
Wajib hukumnya bagi siapa pun yang melantunkan kalimat talbiyah dan kalimat tauhid ini untuk memahami dan mengetahui kandungan dan makna dari kalimat tersebut. Menghadirkan makna-makna tersebut di dalam hati dan merealisasikannya di kehidupan nyata. Dengan begitu, ia termasuk orang orang yang jujur dalam setiap kalimatnya, menjadi seorang muslim yang berpegang teguh dengan tauhid serta menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat merusak dan mengotori kesuciannya.
Tatkala ia mengucapkan, “Labbaika la syarika laka.” (Aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu), maka ia benar-benar menghindarkan diri dari kesyirikan kepada Allah Ta’ala, tidak bergantung kecuali kepada Allah, serta tidak meminta apa pun dari kenikmatan ataupun meminta dihindarkan dari marabahaya, kecuali kepada-Nya. Tidak berdoa dan meminta kepada kuburan, wali, benda mati ataupun yang semisalnya.
Tatkala ia mengucapkan, “Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka.” (Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu), maka ia tidak akan memuji dan menyanjung sesuatu melebihi sanjungannya kepada Allah Ta’ala, tidak mengkultuskan dan mensucikan seseorang melebihi penghormatannya kepada Allah Ta’ala. Tidak mengharapkan lancarnya rezeki atau terhindarkan dari marabahaya kepada selain Allah dan hanya menyandarkannya kepada Allah Ta’ala.
Itulah saudaraku, esensi dari ibadah haji yang Allah syariatkan, bukan justru sebagai ajang berbangga diri, bukan juga agar kita mendapatkan gelar “haji” dan seakan terlahir kembali sehingga menyombongkan diri. Allah ingin agar setiap hamba yang melaksanakan haji atau telah mengetahui esensinya menjadi hamba-hamba Allah yang benar-benar bertauhid dan mengesakan-Nya, tidak beribadah kecuali kepada-Nya, dan tidak bergantung kepada selain-Nya.
Wallahu A’lam bisshawab.
Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan?
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/93421-antara-tauhid-dan-talbiyah.html